Senin, 12 September 2016

Wanita tak serupa Kopi

   
Wanita duduk tak pernah sendiri. Selain buku, kopi dan pemikirannya adalah apa-apa yang membuat jiwanya seperti ban sepeda anak kecil. Berputar, membawanya ke lain dunia.
Di depan cangkir kosongnya, ia menggambar sebuah garis lurus. Ia hanya tubuh yang butuh diisi, oleh apapun, dan wanita tak akan berubah hanya karena hal-hal asing yang mengisinya itu apa.
Di depan gula dalam kertas, ia menggambar garis putus-putus. Ia mengerti, apa-apa yang manis dikecap tak berarti apa-apa yang bertahan lama diucap.

       Di depan sendok perak bergagang beruang, ia menarik garis tak simetris. Seperti perjalanannya yang kerap diusir ketika ingin tinggal, seperti perasaannya yang kerap dipaksa untuk tanggal.
Di depan air panas yang menggolak, tangannya bergetar tak kuasa menggambar. Kasihan wanita, kerap marahnya adalah apa-apa yang justru membunuhnya. Ketika meminta pengertian tapi tak dimengerti, ketika ingin berbicara lantang tapi pemikirannya bungkam; oleh ego-ego ketakutan bahwa itu akan berbalik menjadi apa-apa yang menikamnya pelan-pelan.

        Di depan bijih kopi, ia menggambar garis tipis sekali. Sebuah pengertian, bahwa terkadang perasaan yang mentah hanyalah rasa-rasa penasaran sebelum kemudian pergi karena dahaganya telah terhapuskan.
Di depan segelas kopi, ia menggambar garis melingkar. Baginya, kegagalan-kegagalan yang sama tak pernah sebanding dengan keberaniannya untuk kembali mencoba; Karena tak serupa kopi; Wanita berhak tahu bahwa bahagia di tiap sebuah awal akan tetap terasa berbeda kapanpun jua.


P.S: Sebuah puisi yang saya tulis waktu saya kelas dua SMA dan (anehnya) keluar menjadi juara pertama lomba puisi se-sekolahan saat itu. Di tulis pukul 5 sore, di ruang satpam, di atas kertas bon makanan, sembari melihat seorang anak kelas satu duduk menggambar di kursi batu sambil menunggu jemputannya datang.
Via : Mbeer.tumblr.com // mbeeer.tumblr.com

Kata Kita

Aku hanya sedang ingin berceloteh hingga lelah. Hingga jenuh bahkan lupa apa itu mengantuk. Hingga lupa bahwa malam sudah berganti fajar.

Aku hanya sedang ingin lupa apa itu sosial media. Apa itu arus informasi yang dibawa oleh telpon genggam. Apa itu rahasia-rahasia yang tak lagi rahasia sebab sudah sesumbar itu disuarakan.

Aku hanya sedang ingin berbagi isi kepala dengan seseorang yang sekiranya mampu menampung segala dan bersedia bertukar kisah. Sebab aku tahu, porsi untuk mendengar dan didengar tetap harus seimbang.

Aku hanya sedang ingin seperti itu. Secara nyata, bukan melalui apa-apa yang maya. Aku hanya sedang ingin seperti itu saat ini, sebab esok mungkin saja inginnya sudah menguap.

Aku hanya sedang ingin berhenti sejenak. Menikmati waktu bukan membunuh waktu. Tak usah dicemaskan. Sebentar lagi mungkin inginnya pergi berkelana, berganti menjadi ingin yang lain. Atau bahkan lupa bahwa aku pernah menjadi ingin.